Peranan Perbankan Pada AFTA
BAB 1PENDAHULUAN
- 1 Latar Belakang Masalah
Dengan diberlakukannya AFTA ini, maka negara-negara anggota harus menurunkan tarif impornya, menjadi hanya tinggal 0%-5%, terhadap barang-barang dari negara-negara sesama anggota AFTA yang telah dimasukkan ke dalam Daftar Inklusif (Inclusive List) dan telah memenuhi ketentuan yang disepakati (tentang kandungan produk ASEAN) dalam kesepakatan AFTA tersebut. Pada akhirnya, diharapkan keseluruhan tarif ini akan dihapuskan sama sekali (menjadi 0%), pada tahun 2010 bagi Negara ASEAN-6 dan 2015 bagi negara ASEAN-4, sehingga akan menciptakan kawasan perdagangan regional Asia Tenggara yang benar-benar bebas[1]. Hal tersebut diperkuat dengan penandatanganan kesepakatan cetak biru AEC (ASEAN Economic Community) 2015 dan ASEAN Charter oleh para pemimpin negara ASEAN pada KTT ASEAN ke-13, 20 November 2007.
Bila kita berbicara mengenai kawasan perdagangan ASEAN atau yang lebih dikenal sebagai AFTA, sesungguhnya kita sedang membicarakan 2 aspek dalam masalah hubungan internasional, khususnya dalam bidang ekonomi-politik. Aspek yang pertama adalah aspek regionalisme. Ini karena obyek yang kita bahas adalah ASEAN, yang merupakan organisasi regional negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Sedangkan aspek yang kedua adalah aspek liberalisasi perdagangan. Ini karena apa yang kita bahas dalam AFTA ini sesungguhnya adalah bagian dari upaya penciptaan kawasan perdagangan bebas, yang memungkinkan masing-masing negara untuk berdagang dengan negara lainnya secara bebas, tanpa dikenai hambatan tariff maupun non-tarif.
Secara normatif, upaya untuk memunculkan AFTA ini lahir dari pemikiran tentang bagaimana meningkatkan hubungan (dan juga kerjasama), khususnya dalam bidang ekonomi, yang erat di antara negara-negara anggota ASEAN. Hal ini dipandang sebagai salah satu perwujudan dari tujuan bersama ASEAN, sebagaimana yang termuat di dalam Deklarasi Bangkok pada pasal 2 ayat 5, yaitu “To collaborate more effectively for the greatest utilization of their agriculture and industries, the expansions of their trade, the improvement of their transportation and communication facilities, and the raising of the living standart of their peoples”.[2]
Selain sebagai bagian dari kerja sama ASEAN, lahirnya AFTA juga
harus disadari merupakan salah satu dampak dari munculnya tren liberalisasi ekonomi (termasuk perdagangan) yang melanda dunia. Perkembangan tren liberalisasi ini terutama disponsori oleh kelompok-kelompok yang secara tradisional memang menganut paham kapitalisme liberalisme (Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa Barat). Dalam pandangan kelompok ini, efisiensi dan efektifitas ekonomi hanya dapat dicapai apabila aktifitas ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Aktivitas perdagangan antar negara dilaksanakan berdasarkan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage)[3], yang memungkinkan setiap Negara untuk terlibat meskipun tidak memiliki keunggulan mutlak (absolute advantage) dalam bidang apa pun. Pemerintah dalam hal ini hanya bertugas untuk mengawasi apakah mekanisme pasar tersebut berjalan dengan baik dan tidak terjadi pelanggaran atas aturan yang ada.
Paham kapitalisme-liberal ini memperoleh momentum yang tepat
untuk berkembang ke seluruh dunia ketika perang dingin berakhir. Berakhirnya perang dingin telah membawa berbagai perubahan dalam arah
ekonomi politik dunia. Dua perubahan yang paling penting tersebut adalah,
(1) fokus perhatian negara-negara di dunia beralih dari masalah politik (pada masa perang dingin) menjadi pada masalah ekonomi, yang didasari oleh keinginan untuk meningkatkan kemakmuran masing-masing negara, dan (2) penyebaran paham kapitalisme dan liberalisme ekonomi oleh negara-negara pemenang perang dingin (Amerika dan sekutu-sekutunya) menjadi tidak terbendung, karena saat ini mereka tidak lagi memiliki pesaing. Maka paham kapitalisme dan liberalisme ekonomi tersebut, termasuk dalam bidang perdagangan, kemudian menyebar ke seluruh dunia, baik yang diwujudkan dalam bentuk kesepakatan bilateral, multilateral (misalnya WTO), maupun regional (misalnya AFTA).
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka sesungguhnya arus upaya liberalisasi perdagangan yang muncul dewasa ini (yang salah satu bentuknya adalah lahirnya berbagai kesepakatan perdagangan bebas) adalah suatu hegemonic power yang mau tidak mau harus diikuti oleh setiap negara di dunia ini jika dia tidak ingin dikucilkan dari pergaulan ekonomi politik internasional. Dari kenyataan tersebut juga, maka Indonesia mau tidak mau dituntut untuk mampu mengambil kebijakan dari strategi perdagangan yang tepat, agar dapat menghadapi pemberlakuan AFTA tersebut sebaik mungkin dan dapat memperoleh kemanfaatan yang sebesar-besarnya dari kesepakatan tersebut. Dalam hal ini, kebijakan dan strategi yang diambil tersebut harus dapat menjadi jembatan, bahwa di satu sisi pemberlakuan AFTA ini dan keikutsertaan Indonesia di dalamnya adalah sesuatu kenyataan yang harus dipatuhi, namun di sisi lain Indonesia harus mampu mengambil kesempatan dari pemberlakuan AFTA ini guna memperoleh kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional.
- 2 Rumusan Masalah
kesepakatan AFTA dan Implementasi.”
- 3 Tinjauan Pustaka
Tulisan pertama yang mungkin penting untuk dibahas dalam bagian ini adalah yang berkaitan dengan critical assesment terhadap AFTA. Apa yang dikemukakan oleh Sherry Stephenson mungkin dapat mewakili pemikiran kelompok yang bersikap pesimis terhadap keberadaan AFTA ini. Dalam tulisannya Stephenson menyatakan bahwa dengan keberhasilan kesepakatan perdagangan di bawah GATT (General Agreement on Trade and Tariff) dan WTO (World Trade Organization) serta prospek ke depannya, maka kesepakatan perdagangan regional, baik yang keanggotaannya bersifat tertutup (AFTA) maupun yang bersifat terbuka (APEC) akan semakin tidak menarik. Jika pun diteruskan, itu lebih disebabkan oleh alasan strategis untuk kebijakan luar negeri daripada oleh alasan ekonomi[4]. Bila kita mencermati, sesungguhnya pendapat ini muncul dari pandangan yang menganggap bahwa upaya mencapai efesiensi dan maksimisasi ekonomi melalui liberalisasi perdagangan tersebut tidak akan bisa tercapai bila masih ada sekat-sekat regional, karenanya liberalisasi yang harus dikembangkan bukanlah liberalisasi yang bersifat regional, melainkan liberalisasi global, yang melibatkan seluruh negara yang ada di dunia ini.
Sebaliknya, kelompok yang optimis tidak memandang AFTA seekstrim itu. Mereka memahami bahwa bagaimanapun tujuan AFTA tersebut adalah untuk mengembangkan perekonomian negara-negara yang ada di kawasan ini. namun demikian mereka tetap mengkritik berbagai kelemahan yang ada dalam pelaksanaannya, yang dipandang justru akan menghambat efektifitas implementasi AFTA itu sendiri. Mari Elka Pangestu menyebutkan paling tidak ada 3 kritik yang dialamatkan pada pelaksanaan AFTA saat ini[5], yaitu masa transisi dari penandatanganan kesepakatan AFTA (Januari 1992) sampai berlaku efektifnya kesepakatan tersebut (1 Januari 2002) dinilai terlalu lama, sehingga menyebabkan hilangnya banyak kesempatan yang bisa diperoleh bila kesepakatan itu diberlakukan lebih cepat. Kenyataannya, masyarakat Eropa yang memulai kesepakatan Uni Eropanya pada waktu yang hampir bersamaan dengan lahirnya AFTA, saat ini malah telah berhasil membuat mata uang bersama Eropa. Sebaliknya ASEAN, baru pada tahun 2002 ini mulai melaksanakan liberalisasi perdagangan yang sebenarnya telah disepakati sejak lama, kemudian AFTA dinilai terlalu memfokuskan diri pada upaya penghapusan hambatan tarif dan melupakan hambatan non tarif. Padahal, kelancaran perdagangan menuju liberalisasi yang sesungguhnya juga sangat dipengaruhi oleh berkurangnya hambatan non tarif, selanjutnya kurangnya keberadaan pusat informasi yang diperlukan baik untuk menyampaikan informasi kepada pihak swasta maupun menerima masukan dari mereka berkaitan dengan pelaksanaan AFTA ini. Hal ini penting karena pemain utama dalam kegiatan ekonomi melalui skema AFTA ini sesungguhnya adalah para pelaku ekonomi sektor swasta[6].
Atas kelemahan-kelemahan itu ia menyerukan kepada negara-negara anggota ASEAN, bahwa jika ingin AFTA tetap relevan dengan tren ekonomi saat ini maka negara-negara tersebut perlu bergerak ke depan (tidak terjebak pada perselisihan yang tidak substantif) dan bereaksi cepat terhadap perubahan dunia. Hal ini berarti mereka harus mendorong maksimalisasi efektifitas kesepakatan pengurangan hambatan tarif dan non tarif yang telah disepakati tersebut, dan bertindak progresif dalam menanggapi isu-isu ekonomi terkini yang tentunya akan menarik minat sektor swasta.
Pada sisi lain R. Hendra Halwani dalam bukunya yang berjudul
Ekonomi Internasional Dan Ekonomi Global menyoroti negara-negara ASEAN agar tidak terlalu berlebihan dalam memberikan insentif kepada calon investor[7]. Dalam jangka pendek pemberian insentif tersebut memang berguna untuk menarik masuknya investasi. Namun dalam jangka panjang, pemberian insentif yang berlebihan itu justru akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara negara-negara ASEAN, yang pada akhirnya justru akan merugikan ASEAN sendiri secara keseluruhan.
Selain berbicara tentang kritik terhadap AFTA, para ahli juga menulis
tentang prediksi dampak, manfaat dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi AFTA, serta menyampaikan saran-saran tentang tindakan atau strategi apa yang perlu dilakukan oleh Indonesia untuk dapat memaksimalkan kemanfaatan yang dapat diambil dari pemberlakuan AFTA tersebut.
Rifana Erni dalam tulisannya menyatakan bahwa pemberlakuan AFTA ini tentunya akan membawa dampak bagi pelaku ekonomi di setiap negara anggota. Dampak itu bersifat negatif bagi produsen (pelaku ekonomi) yang tidak (belum) efisien, yang selama ini selalu berlindung di balik proteksi domestik namun bersifat positif bagi produsen (pelaku ekonomi) yang sudah efisien, karena dengan pemberlakuan AFTA tersebut pasar yang terbuka menjadi lebih lebar[8]. Persoalannya bagi setiap negara kemudian adalah bagaimana menjadikan semua pelaku ekonomi di dalam negeri menjadi efisien dan siap untuk menghadapi liberalisasi perdagangan tersebut, dan bagaimana agar dapat memperoleh surplus dampak positif yang sebesar-besarnya dari kesepakatan liberalisasi perdagangan yang mereka ikuti tersebut. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 500-600 juta jiwa, perekonomian ASEAN memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan lebih besar lagi, dimana masing-masing negara anggota memiliki kesempatan untuk memperoleh bagian peningkatan kesejahteraan dari upaya pengembangan ekonomi ASEAN tersebut.
Bagi Indonesia sendiri, selain memberikan peluang peningkatan ekonomi AFTA ini juga merupakan sarana pembelajaran dalam menghadapi
kesepakatan liberalisasi perdagangan yang lebih besar lagi, yaitu liberalisasi
perdagangan di bawah bendera APEC dan liberalisasi perdagangan di bawah bendera WTO, yang lawan-lawannya tentu jauh lebih unggul. Kenyataannya, dalam AFTA ini posisi Indonesia memang tidak terlalu jelek. Meskipun belum bisa menyamai Singapura dan Malaysia, tetapi posisi Indonesia masih cukup sejajar dengan Thailand, Filipina dan Vietnam, serta jelas lebih baik daripada Laos, Kamboja dan Myanmar. Dengan posisi seperti itu, peluang Indonesia untuk bisa memanfaatkan AFTA ini sebenarnya sangat terbuka lebar. Namun tentu saja peluang untuk memperoleh manfaat tersebut bukanlah sesuatu yang mudah, sebab ada banyak tantangan yang harus dihadapi Indonesia untuk bisa memperoleh manfaat tersebut.
Hikmahanto Juwana mencatat ada beberapa tantangan yang harus diatasi Indonesia dalam menghadapi AFTA ini, yang jika berhasil akan bermanfaat untuk kepentingan nasional[9]. Yaitu Indonesia harus mampu memposisikan para pelaku usaha dari negara-negara ASEAN lainnya sejajar dengan pelaku usaha lokal, kemudian Indonesia harus mampu berpikir dan bertindak tidak lagi dalam konteks dan skala lokal (domestik) namun sudah dalam konteks dan skala regional ASEAN, disamping itu Indonesia harus mampu mendorong pelaku usaha domestik untuk lebih kompetitif, agar mereka tidak hanya menjadi penonton tetapi juga ikut bermain dan mendapatkan kemanfaatan dari kesepakatan AFTA ini, selanjutnya Indonesia harus mampu menekan praktek ekonomi biaya tinggi dan tidak sehat lainnya, seperti praktek monopoli, korupsi, pungutan liar dan sebagainya, yang selama ini memang menghambat kemajuan ekonomi Indonesia, dan harus dapat mentransformasikan apa yang telah disepakati dalam AFTA tersebut ke dalam produk/kebijakan hukum nasional. Tanmakalah ” Indonesia dalam menghadapi AFTA dan ASEAN COMMUNITYtangan-tantangan ini sendiri sesungguhnya tidak hanya harus diatasi oleh pemerintah saja, namun juga oleh pihak swasta, yang sebenarnya merupakan aktor utama dalam pemanfaatan pemberlakuan kesepakatan AFTA ini.
Hal lain yang juga banyak dibahas oleh para ahli dan peneliti terkait dengan isu AFTA ini adalah bagaimana upaya pentransformasian hal-hal yang telah disepakati di dalam AFTA tersebut ke dalam instrumen hokum domestik masing-masing negara anggota. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa meskipun kesepakatan AFTA ini adalah kesepakatan politik dan ekonomi, namun di dalamnya terdapat hal-hal yang bersifat teknis (misalnya ketentuan tentang tarif, hambatan non tarif dan sebagainya), yang memerlukan instrumen hukum, misalnya peraturan perundang-undangan, untuk mengimplementasikannya. Oleh karena itu, setiap negara ASEAN perlu dan wajib membuat instrumen hukum domestik yang dibutuhkan agar dapat menjalankan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kesepakatan AFTA tersebut secara efektif.
Berkaitan dengan upaya pentransformasian isi kesepakatan AFTA tersebut ke dalam instrumen hukum domestik masing-masing negara anggota, D. Gandaprawira mengingatkan tentang perlunya dilakukan harmonisasi hukum di antara negara-negara ASEAN. Kenyataannya, masing-masing negara ASEAN memang menggunakan sistem hukum yang berbeda-beda. Indonesia dan Thailand menggunakan sistem kontinental, Brunei, Malaysia, dan Singapura menggunakan sistem hukum anglosaxon, sedangkan Filipina menggunakan sistem hukum spanih-american[10]. Dengan sistem yang berbeda-beda ini rasanya upaya penyatuan hukum yang ada di kawasan ini adalah sesuatu yang sulit. Maka upaya yang mungkin dilakukan adalah proses harmonisasi hukum, dimana masing-masing negara ASEAN aktif melakukan pertukaran informasi tentang aturan hukum yang dibuatnya kepada negara-negara ASEAN lainnya, sehingga meskipun sistem hukum yang dimiliki masing-masing negara berbeda beda namun menggunakan ‘bahasa’ yang sama.
Taryana Soenandar menyebutkan bahwa proses harmonisasi hokum ini menjadi penting sejalan dengan meningkatnya interaksi dan transaksi antar pelaku ekonomi negara-negara ASEAN, dimana pelaku ekonomi bertindak berdasarkan hukum (dan sistem hukum) yang dimiliki negaranya masing- masing, yang berbeda dengan hukum (dan sistem hukum) yang dimiliki oleh negara pelaku ekonomi lainnya[11]. Tanpa adanya upaya harmonisasi hukum, maka akan sangat mungkin terjadi kesalahpahaman dan perselisihan di antara pelaku ekonomi tersebut, yang pada akhirnya akan menghambat aktifitas ekonomi yang berlangsung di antara negara-negara ASEAN tersebut. Soenandar juga mencatat ada beberapa ketentuan hukum yang perlu segera diharmonisasikan guna memperlancar pengimplementasian kesepakatan AFTA tersebut. Hukum-hukum tersebut adalah hokum investasi, hukum perlindungan konsumen hukum tanggung jawab produk, hukum perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, hukum kontrak, hokum jual-beli internasional, hukum lingkungan, serta hukum acara[12].
Jayant Menon lebih jauh mengatakan bahwa proses harmonisasi yang diperlukan tersebut bukan hanya dalam hal ketentuan hukum, tapi juga dalam hal standar yang digunakan, tes dan sertifikasi yang diwajibkan atas produk, prosedur kepabean, kebijakan investasi asing, konsultasi makro ekonomi, serta aturan dalam hal kompetisi yang adil[13]. Tanpa itu semua, upaya untuk meningkatkan volume perdagangan antar negara-negara ASEAN melalui penghapusan hambatan tarif dan non tarif akan menjadi sia-sia, sebab para pelaku ekonomi masih tetap akan bingung dalam menghadapi system yang berbeda-beda yang diberlakukan oleh masing-masing negara ASEAN.
Pada akhirnya, Jamil Maidan Flores dalam bukunya yang berjudul ASEAN Economic Cooperation: Helping The Breadwinners of Southeast Asia menyebutkan bahwa kerjasama ekonomi yang dicanangkan ASEAN sesungguhnya mencakup bidang-bidang yang lebih luas lagi, seperti bidang jasa, pengembangan industri, keuangan dan perbankan, investasi, pertanian dan kehutanan, energy dan sumberdaya mineral, serta transportasi dan komunikasi[14]. Maka keberhasilan kerjasama dalam bidang-bidang perdagangan ini, khususnya kesepakatan AFTA ini, sesungguhnya akan menjadi indikator bagi kemungkinan keberhasilan kerjasama dalam bidang- bidang lainnya tersebut. Bila ini berhasil maka yang lain pun diperkirakan akan berhasil, dan sebaliknya bila ini gagal maka yang lain pun diperkirakan akan gagal pula.
Berangkat dari telaah terhadap tulisan-tulisan tentang AFTA di atas, maka penulis kemudian menentukan arah yang ingin dituju dalam penelitian ini. Berbeda dengan tulisan-tulisan tersebut, yang umumnya berbicara tentang critical assesment terhadap AFTA, prediksi mengenai dampak pemberlakuan AFTA terhadap Indonesia, serta saran tentang bagaimana sebaiknya proses pengimplementasian AFTA tersebut dilakukan, penelitian ini ingin melihat tentang apa dan bagaimana kebijakan dan strategi perdagangan yang diambil Indonesia dalam menghadapi pemberlakuan AFTA tersebut. Dari situ kita akan bisa melihat apakah kebijakan dan strategi perdagangan yang diambil tersebut telah cukup dan siap untuk menghadapi pemberlakuan AFTA ini.
- 4 Kerangka Teori
- 4.1 Liberalisasi Perdagangan di Tingkat Regional
yang dicita-citakan dari pemberlakuan liberalisasi perdagangan ini, yaitu ingin meningkatkan kemakmuran dunia secara keseluruhan. Kenyataannya, hal ini menurut Gilpin tidak terlepas dari regionalism politik di abad 21 yang akan diikuti oleh regionalisme arus investasi (FDI), produksi dan kegiatan ekonomi yang lain.
Berkaitan dengan kuatnya hegemoni negara-negara maju atas
negara-negara berkembang dalam rezim perdagangan bebas yang ada.
Meskipun ide awal lahirnya upaya liberalisasi perdagangan adalah
untuk menciptakan suatu rezim perdagangan yang adil, namun kenyataan yang ada justru sebaliknya. Dengan kekuatan yang dimilikinya, negara-negara maju sering kali bersikap mau menang
sendiri, misalnya dengan memaksa negara-negara berkembang untuk mau menerima isi kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan
yang hanya menguntungkan negara-negara maju saja. Hal ini dapat
dilihat dari desakan negara-negara maju agar diberlakukannya
liberalisasi perdagangan untuk produk-produk manufaktur. Selain itu
negara-negara maju juga sering kali menetapkan berbagai persyaratan
teknis yang harus dipenuhi oleh suatu negara dalam aktifitas
perdagangan internasional[15].
- 4.2 AFTA Dan Kebijakan Indonesia
Secara luas, pembentukan AFTAbertujuan untukmeningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikannya sebagai basis produksi pasar dunia[16]. Selain itu pembentukan AFTA ini juga bertujuan untuk mengembangkan perdagangan intra-ASEAN serta meningkatkan skala ekonomi dan spesialisasi industri-industri yang ada di negara-negara ASEAN[17]. Karenanya sasaran yang diharapkan dari pembentukan AFTA ini bukan hanya pengembangan dalam bidang perdagangan, namun juga pengembangan dalam bidang investasi. Dengan keberadaan AFTA ini, investor diharapkan menjadi semakin tertarik untuk menanamkan modalnya di kawasan ASEAN. Sebab ketika mereka menanamkan modalnya dan berproduksi di salah satu negara ASEAN, mereka akan dapat juga melayani keseluruhan kawasan ASEA dengan memanfaatkan ketentuan AFTA tersebut, dimana barang-barang produksi ASEAN akan memperoleh keistimewaan dalam hal pengenaan tarif dan hambatan non tarif. Untuk itu maka AFTA ini dikembangkan agar dapat menjadi kesepakatan regional yang terbuka (open regionalism),yang disatu sisi berupaya untuk mengintegrasikan ekonomi kawasan, namun di sisi lain juga menyambut baik hubungan ekonomi dengan negara-negara dari luar kawasan[18].
Meski dimaksudkan untuk mengembangkan perekonomian ASEAN, khususnya untuk meningkatkan nilai perdagangan intra-ASEAN, kenyataannya tidak semua pihak satu suara mengenai keberadaan AFTA ini. Di Indonesia sendiri perbedaan pandangan tersebut juga kerap terjadi antara kelompok yang mendukung dengan kelompok yang menentang keberadaan AFTA ini. Bahkan kelompok pengusaha yang tadinya diharapkan akan dapat memperoleh manfaat besar dari kesepakatan AFTA ini, nyatanya tidak semua merasa senang dengan keberadaan AFTA ini.
Namun demikian, satu hal yang harus disadari adalah bahwa pemberlakuan AFTA mulai tahun 2002 dan keikut sertaan Indonesia di dalamnya kini adalah satu kenyataan yang tak dapat ditolak. Sebagai konsekuensinya, seluruh pelaku ekonomi di Indonesia (khususnya pemerintah) diharuskan untuk menciptakan aturan-aturan perdagangan yang sejalan dengan isi kesepakatan AFTA tersebut. Di sisi lain, pemberlakuan AFTA ini tentunya akan membawa dampak bagi pelaku ekonomi nasional. Dampak tersebut akan bersifat negative bagi pelaku ekonomi yang tidak efisien sehingga tidak mampu bersaing, namun akan bersifat positif bagi pelaku ekonomi yang sudah efisien sehingga mampu bersaing. Maka pemikiran yang seharusnya dikembangkan bukan lagi berbicara tentang masalah penerimaan ataupun penolakan terhadap AFTA, melainkan bagaimana AFTA tersebut dapat disikapi dengan bijak. Dengan itu Indonesia kemudian diharapkan mampu mengambil kebijakan-kebijakan perdagangan yang tepat agar dapat memanfaatkan keberadaan AFTA ini sebaik mungkin bagi kepentingan nasional.
Dalam konteks kebijakan secara luas, Sjamsumar Dam dan Riswandi menyebutkan paling tidak ada 5 hal pokok yang harus dilakukan Indonesia dalam menghadapi AFTA ini, agar di satu sisi dapat mendorong peningkatan kegiatan perdagangan intra- ASEAN sebagaimana yang dicita-citakan dari pembentukan AFTA ini, namun di sisi lain juga dapat mengoptimalkan pemanfaatan AFTA bagi pengembangan ekonomi nasional[19]. Lima hal pokok tersebut adalah:
- Memantapkan organisasi pelaksana AFTA yang ada pada level nasional.
- Meningkatkan promosi dan penetrasi pasar ke negara-negara ASEAN lainnya.
- Meningkatkan efisiensi dan produktifitas pelaku ekonomi dalam negeri.
- Meningkatkan kualitas sumber daya manusia nasional.
- Dan melakukan upaya untuk melindungi industri kecil nasional.
Upaya deregulasi kebijakan dan birokrasi, serta pengambilan strategi perdagangan yang tepat ini terutama diharapkan dapat dimotori oleh Departemen Perdagangan (khususnya melalui Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Direktorat Perdagangan Luar Negeri, dan Badan pengembangan ekspor Nasional) selaku regulator utama kegiatan perdagangan luar negeri di Indonesia, dan oleh Departemen Keuangan (melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) selaku ujung tombak dalam proses pengawasan terhadap kegiatan ekspor dan impor di lapangan.
Tentu saja bagaimana pun pada akhirnya akan tetap ada pelaku-pelaku ekonomi nasional yang mengalami kerugian dari pemberlakuan AFTA ini dan keikutsertaan Indonesia di dalamnya, sebagaimana pula akan ada pelaku-pelaku ekonomi nasional yang mengalami kerugian bila AFTA ini tidak diberlakukan atau Indonesia tidak ikut di dalamnya. Maka persoalannya sekarang adalah bagaimana menjadikan kemanfaatan yang diperoleh Indonesia dari pemberlakuan AFTA ini dapat jauh lebih besar dari ongkos yang harus dikeluarkan, serta bagaimana agar kerugian yang harus dialami oleh pelaku-pelaku ekonomi nasional yang mendapat kerugian tersebut dapat menjadi seminimal mungkin.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
ASEAN merupakan wujud nyata kerjasama regional negara-negara di AsiaTenggara. ASEAN telah mengalami perkembangan pesat dan tengah berubah dari sebuah perhimpunan negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang longgar menjadi suatuorganisasi yang lebih terstruktur, terintegrasi menuju perwujudan komunitas tunggal.Perkembangan ini telah menandai makin solidnya jalinan kerjasama antar anggota untuk menciptakan cara pandang dan visi yang sama.Pada Visi ASEAN 2020, yang disepakati di Kuala Lumpur tahun 1997,disebutkan mengenai cita-cita ASEAN untuk menjadi suatu komunitas negara-negaraAsia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli, diikat bersamadalam kemitraan yang dinamis di tahun 2020. Visi ini lebih ditegaskan melalui BaliConcord II yang dihasilkan pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yang menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community). Pembentukan Komunitas ASEAN merupakan upaya ASEAN untuk lebih mempererat integrasinya dalam menghadapi perkembangan konstelasi politik internasional. Selain itu, juga merupakan upaya ASEAN untuk menyesuaikan cara pandang agar dapat lebih terbuka dalam membahas permasalahan domestik yang berdampak kepada kawasan. Pencapaian Komunitas ASEAN semakin kuat dengan ditandatanganinya Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by2015´ oleh para Pemimpin ASEAN pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, 13Januari 2007. Dengan ditandatanganinya Deklarasi ini, para Pemimpin ASEAN menyepakati percepatan pembentukan Komunitas ASEAN dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Melalui tiga pilar kerjasama Komunitas ASEAN, ASEAN bertekad untuk lebih menyeimbangkan pemajuan kerjasama ASEAN di bidang politik-keamanan, ekonomidan sosial budaya. Integrasi yang lebih erat di bidang politik, ekonomidan sosial-budaya diharapkan akan membentuk suatu Komunitas ASEAN yang memberikan manfaat pada meningkatnya kepercayaan dan kenyamanan diantara negara-negara anggota dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat ASEAN dan daya saing kawasan.
3.2 Saran
Untuk menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi oleh ASEAN Community dimasa kini dan mendatang, baik besar maupun kecil, jawabannya ialah merujuk pada komitmen tiap negara anggota dalam mengoptimalkan peranan dan eksistensi mereka didalam keluarga besar ASEAN.Implementasi dari Piagam ASEAN ialah penting bagi eksistensi organisas iregional ini. Transformasi ASEAN yang usianya mencapai 42 tahun kiranya dapat diwujudkan dengan adanya Piagam ASEAN ini. Untuk itu, diperlukan sinergisitas antar negara-negara anggota untuk menghilangkan hambatan-hambatan kerjasama darieksternal maupun internal.Untuk mempercepat berlakunya Piagam ASEAN ini, negara-negara anggotaASEAN diharapkan dapat segera melakukan ratifikasi. Piagam ini akan dilengkapi dengan Protokol, Terms of Reference, Rules of Procedure, dan berbagai perjanjianpelengkapnya. Piagam ASEAN perlu dijabarkan ke dalam peraturan-peraturan domestik dan perlu mendapatkan dukungan dari para stake holders nasional. Perlu dilakukansosialisasi kepada para stake holders agar dapat memahami dan dapat mempersiapkandiri menghadapi pemberlakuan Piagam ASEAN dan pembentukan Komunitas ASEAN.Selain itu, ASEAN dalam mewujudkan Komunitasnya, diperlukan optimalisasihubungan eksternal dengan Negara non anggota guna memperkokoh ketahanan regionalASEAN, menjalin kemitraan global untuk pertumbuhan ASEAN.
Sumber : http://alibielsya.blogspot.com/2014/02/makalah-indonesia-dalam-menghadapi-afta.html
No comments:
Post a Comment